Paradoks Seorang Jenius

Paradoks Seorang Jenius

Jika anda diminta menyebutkan siapa nama orang paling jenius di dunia dalam sejarah hingga hari ini? Mungkin jawaban anda adalah Albert Einstein. Tapi jika pertanyaannya sedikit saya rubah seperti, siapakah orang dengan nilai kecerdasan intelektual atau IQ paling tinggi dalam sejarah hingga hari ini, apakah anda akan menjawab Albert Eintein sekali lagi? Kebanyakan mungkin masih akan menjawab Iya. Tapi ketauhilah bahwa pemilik nilai IQ tertinggi dalam sejarah bukanlah Albert Einstein, meskipun dengan teori relativitasnya dapat merubah persepsi kita akan gravitasi yang merupakan konsekuensi dari ruang dan waktu, tapi perlu diketahui bahwa nilai IQ Albert Einstein “hanya” berkisar pada angka 150an saja. Lantas siapa pemilik nilai IQ tertinggi dalam sejarah hingga hari ini? Perkenalkan namanya adalah Christopher Langan.

Menurut beberapa media di Amerika Serikat, Christopher Langan dilabeli sebagai “The Smartest Man in America”, hal ini sebenarnya tidak berlebihan mengingat nilai IQ dari Christopher Langan mencapai angka 195 sampai dengan 210. Bandingan dengan Einstein yang “hanya” pada kisaran 150an saja, cukup jauh bukan?

Kecerdasan Christipher Langan sudah tampak sejak dia kecil. Pada usia 6 bulan, ia sudah mulai bisa berbicara dengan lancar. Pada usia 3 tahun, ia mulai belajar membaca dengan cara otodidak dan hasilnya, ia pun bisa membaca berbagai macam artikel dengan sempurna dan menguasai berbagai macam kosakata. Pada usia 5 tahun, pola pikir filsusnya mulai tumbuh dan berani bertanya tentang keberadaan Tuhan kepada kakeknya – dan ia merasa kecewa akan jawaban yang di dapat dari kakeknya kala itu.

Di sekolah, Christopher Langan bisa mengikuti ujian bahasa asing tanpa harus belajar untuk mempersiapkan diri sebelumnya, dan bila ada waktu dua atau tiga menit sebelum guru datang, ia bisa membaca buku cetak dengan sangat cepat dan lulus ujian dengan nilai amat sempurna. Di tahun-tahun awal masa remajanya, sambil bekerja sebagai asisten di sebuah lahan pertanian, ia mulai membaca buku tentang teori fisika. Pada usia 16 tahun, ia sudah bisa memahami mahakarya Bertrand Russel dan Alfred North Whitehead yang sulit dipahami berjudul Principia Mathematica. Christopher Langan juga bisa mendapatkan nilai sempurna untuk ujian SAT – ujian standar sebelum masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat. Semacam SNMPTN jika di Indonesia – walaupun sempat tertidur ketika ujian berlangsung.

Seorang adiknya yang bernama Mark Langan mengatakan bahwa Christopher Langan memiliki ketekunan yang luar biasa dengan kombinasi otak yang mampu fokus di banyak hal. Di liburan musim panas sekolahnya, Christopher Langan biasa mengerjakan soal matematika selama satu jam, kemudian beralih ke bahasa Prancis selama beberapa jam, kemudian bahasa Rusia dan kemudian membaca buku filsafat. Ia melakukan semua itu dengan tekun dan penuh disiplin menurut kesaksian adiknya Mark Langan. Ia sangat takjub akan kemampuan yang dimiliki kakaknya kala itu.

Seorang adik lainnya yang bernama Jeff Langan menceritakan bahwa Christopher juga memiliki bakat yang luar biasa di bidang seni. Ketika umur Christopher menginjak empat belas atau lima belas tahun, Christopher senang sekali mencoret-coret kertas kosong dan hasilnya tampak sangat realistis sekali seperti foto. Bahkan bakat seninya tidak hanya berhenti sampai disitu. Di umur lima belas, Christopher juga dapat menirukan nada yang dimainkan oleh Jimi Hendrix.

Christopher Langan sering sekali bolos sekolah. Dia akan muncul beberapa saat menjelang ujian dan gurunya tidak mempermasalahkan perilaku anak ini. Bagi Mark dan Jeff Langan, hal ini terasa sangat lucu. Christopher dapat membaca buku cetak untuk satu semester hanya dalam waktu dua hari saja, melakukan berbagai macam pekerjaan yang kompleks secara berurutan dan menyelesaikan berbagai macam persoalan dengan sangat rapi.

Christopher Langan adalah sosok sempurna yang mungkin banyak diidam-idamkan oleh para pelajar masa kini. Memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa dan mampu mengerjakan berbagai macam persoalan yang kompleks dengan cermat dan rapi. Namun, apakah benar kemampuan IQ seseorang dengan nilai mencapai 195 ini mampu membantunya meraih kesuksesan seperti apa yang telah dicapai oleh Albert Einstein yang nilai IQ-nya “hanya” berkisar antara 150-an saja?

Latar Belakang Christopher Langan

Ibu Christopher Langan berasal dari San Fransisco dan diasingkan oleh keluarganya. Ia memiliki empat orang anak laki-laki yang berasal dari empat orang ayah yang berbeda. Christopher adalah anak pertama. Ayah kandungnya menghilang entah kemana ketika ibunya mengandung dirinya beberapa bulan. Menurut kabar dari beberapa kerabatnya, Ayahnya telah melarikan diri ke Meksiko. Suami kedua ibunya dibunuh. Suami ketiga ibunya ditemukan meninggal dalam keadaan bunuh diri. Suami keempat ibunya adalah seorang wartawan gagal bernama Jack Langan. Dari sinilah nama belakang Christopher berasal.

Christopher Langan menceritakan bahwa masa kecilnya teramat miskin. Saking miskinnya ia menceritakan bahwa diantara keempat bersaudara ini tidak memiliki kaus kaki yang sama pada tiap pasangnya, celana yang berlubang dan hanya memiliki satu stel pakaian.

“Saya masih ingat bagaimana saya dan adik-adik saya masuk kedalam bak mandi satu-satunya milik kami yang sebenarnya juga difungsikan sebagai bak cuci pakaian. Kalau pakaian kami sedang dicuci dan dikeringkan, kami terpaksa bertelanjang badan seharian.” Ujar Christopher Langan.

Ayah tirinya, Jack Langan adalah seorang alkoholik yang akut. Seringkali ia mabuk dan menghilang. Ia sering mengunci dapur sehingga anak-anaknya tidak bisa makan. Seringkali ia menggunakan kekerasan seperti cambuk dan rotan untuk mendisiplinkan anak-anaknya. Seringkali ia baru mendapat pekerjaan dan dipecat. Hal ini memaksa keluarga Langan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Pada suatu musim panas, keluarga Langan tinggal di suatu tempat penampungan Indian, mengandalkan bantuan makan dari pemerintah berupa selai kacang dan jagung untuk makan sehari-hari. Pernah juga keluarga ini pindah ke Virginia City, Nevada, yang hanya memiliki satu orang petugas kepolisian dan banyaknya bandit di seantero kota. Saking buruknya sistem keamanan di kota itu, Christopher menjelaskan sering kali petugas kepolisian satu-satunya itu malah bersembunyi ketika para bandit beraksi.

Saat Christopher Langan menginjak bangku sekolah dasar, keluarganya pindah ke Bozeman, Montana. Salah seorang adik Christopher menghabiskan masa kecilnya di rumah orang tua angkat. Sedangkan ketiga anak yang lainnya dikirim ke sekolah anak-anak nakal, termasuk Christopher.

Menurut adiknya Jeff, sekolah untuk anak nakal ini tidak memahami betapa berbakatnya Christopher. Dan masalahnya lagi, Christopher pun tidak mau menunjukkan bahwa sesungguhnya ia adalah anak dengan kecerdasan yang istimewa.

Warga Bozeman menganggap bahwa keluarga Langan adalah sekumpulan orang-orang yang tidak berguna sehingga sering kali mereka tidak diperlakukan dengan baik di sana. Untuk membela keluarganya ini, akhirnya Christopher memutuskan untuk berlatih angkat beban.

Suatu hari, saat Christopher berusia empat belas tahun, Jack Langan kembali mengasari anak-anaknya seperti yang kadang-kadang dilakukan olehnya. Merasa tidak terima, Christopher menantang Jack Langan dalam sebuah perkelahian yang akhirnya membuat Jack Langan babak belur, lari dan tidak kembali lagi.

Setelah lulus SMA, Christopher ditawari dua buah beasiswa penuh dari Reed Collage di Oregon dan University of Chicago. Namun Christopher akhirnya memilih Reed Collage dan menurutnya, ini adalah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya.

Kesalahan terbesar yang dibuatnya ini tak lain adalah masalah gegar budaya yang pertama kali dialaminya. Christopher hanyalah anak kampung yang biasa bekerja sebagai asisten di sebuah lahan pertanian di Montana, sedangkan teman-temannya di Reed Collage kebanyakan berasal dari wilayah perkotaan seperti New York maupun San Fransisco. Anak-anak dari kota ini memiliki gaya hidup yang sangat bertolak belakang dengannya dan hal ini membuat Christopher tidak mampu berkutik banyak di kelas. Bahkan di kamar asramanya yang ditinggali empat orang – termasuk ia, memiliki gaya hidup yang sangat berbeda dengan dirinya. Anak-anak kota ini suka menghisap ganja dan membawa pacar-pacarnya kedalam kamar. Karena ketidak mampuan Christopher beradaptasi dengan lingkungan barunya inilah, akhirnya ia memilih untuk menyendiri di dalam perpustakaan.

Masalah yang lain pun silih berganti datang. Pertama-tama ia mulai kehilangan beasiswanya. Hal ini dikarenakan ibunya lalai dalam mengisi laporan keuangan orang tua untuk memperbarui beasiswanya.

Awalnya Christopher tidak mau menyerah dengan pergi menemui bagian administrasi kampus dan mencoba melobby mereka. Sayangnya jawaban yang didapat tidak sesuai harapan. Karena tidak ada yang mengirim laporan keuangan untuk bagian administrasi kampus sehingga alokasi uang beasiswa itu akhirnya ditujukan kepada orang lain.

Christopher merasa tertekan sekali dan kecewa karena tidak ada sedikitpun upaya dari Reed Collage untuk memberinya opsi kedua seperti pembinaan ataupun konseling tentang masa depan studinya. Christopher dibiarkan begitu saja pergi meninggalkan Reed Collage karena ibunya lalai dalam mengisi laporan keuangan yang biasa digunakan untuk memperbaruhi beasiswa. Akhirnya Christopher meninggalkan Reed Collage sebelum ujian berakhir. Meninggalkan deretan nilai F di transkripnya. Sesuatu yang sangat disayangkan untuk orang secerdas Christopher Langan.

Setelah keluar dari Reed Collage, Christopher kembali ke Bozeman dan menghabiskan masa satu setengah tahunnya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan konstruksi dan tim pemadam kehutanan sebelum akhirnya ia kembali ke jalur akademis lewat Montana State University.

Di Montana State University, Christopher mengambil konsentrasi kuliah di Matematika dan Filsafat, dua hal yang sebenarnya sangat ia gemari sejak dulu. Suatu hari di musim dingan, mobil yang biasa dikendarai Christopher menuju kampus tiba-tiba mengalami kerusakan mesin, padahal dibutuhkan jarak tempuh sekitar tiga belas mil untuk sampai ke kampus. Tanpa sepengetahuan Christopher, selama musim panas, adik-adiknya telah menggunakan mobil itu untuk pergi bekerja di perusahaan kereta api. Sayangnya, mobil itu dikemudikan di atas rel kereta api. Christopher tidak memiliki uang untuk memperbaiki mobil itu. Akhirnya, ia pun memutar otak bagaimana caranya agar ia bisa tetap masuk kelas perkuliahan tepat waktu.

Christopher pun memutuskan untuk menemui pembimbing dan dekannya agar jadwal perkuliahan paginya bisa dipindah ke kelas sore. Ia berargumen bahwa ia punya tetangga pemilik pertanian yang mobilnya bisa ia tumpangi jam sebelas siang. Sayangnya, transkrip historisnya di Reed Collage dulu tidaklah seberapa bagus, sehingga pembimbing dan dekannya menilai bahwa ia hanyalah pemalas saja. Sehingga permohonan pemindahan jadwal perkuliahan mahasiswa baru ini pun ditolak dan hal ini merupakan pukulan yang telak bagi Christopher Langan.

Peristiwa inilah yang sebenarnya menjadi titik balik dalam kehidupan akademis Christopher. Sebelumnya ia sangat bersemangat sekali untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Berpindah kampus hanya agar tetap mampu mengenyam pendidikan hingga bahkan bersedia untuk menumpang mobil pertanian agar ia bisa sampai ke kampus dan melanjutkan proses belajarnya.

Sayangnya, dunia perkuliahan yang ia masuki malah mempersulit aktivitas pendidikannya. Menurutnya, persetan dengan kehidupan perkuliahan ini. Sejak saat itu ia memutuskan untuk melanjutkan hidup tanpa menjalani sistem pendidikan lanjutan. Walaupun jauh di dalam hatinya ia sadar bahwa ia sebenarnya memerlukan kehidupan akademis dan memiliki passion di bidang ini, tapi egonya berkata lain dan akhirnya ia memutuskan untuk selamanya menjauhi dunia akademis ini.

Adiknya, Mark Langan sangat menyayangkan hal ini. Begitu Christopher memasuki dunia perguruan tinggi, ia selalu berharap bahwa kakaknya yang memiliki kecerdasan luar biasa itu akan semakin berkembang dan diterima dengan baik. Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya, Christopher dihadapkan oleh berbagai macam kesulitan yang pada akhirnya menghambat ia untuk maju. Hal ini sangat tidak masuk akal di mata semua keluarga Langan.

Tanpa adanya gelar akademis, Christopher Langan luntang-luntung. Di mulai bekerja di sebuah perusahaan konstruksi, lalu pada suatu malam di musim dingin ia bekerja sebagai penangkap kerang di sebuah kapal nelayan yang berbasis di Long Island. Pernah juga Christopher bekerja sebagai seorang buruh di sebuah kantor pemerintahan lalu akhirnya ia menjadi tukang pukul di sebuah klub malam di Long Island juga. Pekerjaan inilah yang akhirnya menjadi pekerjaan paling lama di usia dewasanya. Sambil mengerjakan pekerjaan serabutannya itu, Christopher tetap menenggelamkan diri pada filsafat, matematika dan fisika. 3 cabang ilmu pengetahuan yang paling digemarinya, sampai pada akhirnya ia mulai mengerjakan sebuah risalah yang disebuatnya sebagai Cognitive Theoretic Model of Universe (CTMU). Tapi sayangnya, permasalahannya di masa lalu dengan pendidikan akademis tetap menjadi sebuah ganjalan. Tanpa adanya gelar akademis, Christopher tidak akan pernah bisa menerbitkan sebuah jurnal ilmu pengetahuan. Tanpa adanya jurnal ilmu pengetahuan, para akademisi akan menganggap risalahnya tidak lebih dari omong kosong belaka. Dan kesempatan agar pemikirannya dapat diterima oleh masyarakat luas tertutup sudah.

Bandingkan dengan Cerita Robert Oppenheimer

Cerita lain tentang seseorang yang mungkin memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang sama dengan Christipher Langan datang dari seorang ahli fisika terkenal yang memimpin para ilmuwan Amerika dalam mengembangkan bom nuklir pada perang dunia kedua. Namanya adalah Robert Oppenhaimer.

Robert Oppenhaimer dibesarkan di lingkungan keluarga yang sangat mendukung tumbuh kembangnya. Orang tuanya selalu menganggapnya jenius, guru-gurunya selalu bercerita bahwa ia mampu menangkap berbagai macam ide sebagai sesuatu yang indah dan mengkonversikannya ke dalam sebuah tindakan. Ia sudah banyak melakukan eksperimen lab sejak ia masih duduk di sekolah dasar. Sepupunya bahkan pernah menceritakan bagaimana Robert Oppenheimer menantangnya untuk mengajukan sebuah pertanyaan dalam bahasa Latin dan dijawabnya dengan menggunakan bahasa Yunani. Singkat kata, Robert Oppenheimer adalah anak muda dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa.

Robert Oppenheimer memulai dunia perkuliahannya di Harvard, lalu melanjutkan ke Chambridge University untuk meraih gelar doktor di bidang ilmu fisika. Di Chambridge, Robert Oppenheimer mengalami depresi yang luar biasa karena dipaksa untuk mempelajari ilmu fisika lingkungan yang bukan merupakan passion dan sangat dibencinya. Robert Oppenheimer lebih suka mempelajari ilmu fisika teori. Karena hal ini terus menerus dipaksakan oleh pembimbingnya, pada suatu ketika saat emosinya sedang tidak stabil, Robert Oppenheimer mengambil beberapa cairan kimia dari laboratoriumnya dan mencoba untuk meracuni dosen pembimbingnya itu.

Untungnya dosen pembimbingnya menangkap sesuatu yang janggal. Chambridge pun mendapat laporan dan Robert Oppenheimer pun dipanggil. Dari hasil penyelidikan kampus, Robert Oppenheimer diketahui sedang menderita depresi yang berat . Karena hal ini juga dapat dikategorikan tindakan kejahatan yang membahayakan, akhirnya Robert Oppenheimer dihukum dengan menjalani masa percobaan dan harus menemui seorang psikiater di Harley Street, London.

Lalu bagaimana ceritanya 20 tahun kemudian Robert Oppenheimer bisa memimpin sebuah proyek prestisius dalam sejarah perang dunia yang bernama Manhattan Project?

Orang yang paling bertanggung jawab di balik Manhattan Project adalah Leslie Groves. Saat itu ia menyisir hampir ke seluruh penjuru Amerika untuk menemukan orang yang pas dalam usaha pembuatan bom atom. Robert Oppenheimer tentu sangat jauh dari kriteria yang ditentukan. Usianya dapat dikategorikan muda pada saat itu – sekitar 38 tahun – dan diharuskan memimpin banyak orang yang usianya sudah lebih senior. Sejak awal ia adalah orang yang terlalu teoritis, sedangkan pekerjaan pembuatan atom adalah pekerjaan yang menuntut pengalaman pekerjaan lapangan. Yang paling mengejutkan adalah Robert Oppenheimer tidak pernah memiliki pengalaman di bidang pemerintahan sama sekali, sedangkan Leslie Groves adalah seorang Jendral. Dan ngomong-ngomong, ketika masih bersekolah di Chambridge, Robert Oppenheimer pernah didakwa atas percobaan pembunuhan dosennya. Ini adalah poin resume yang buruk sekali untuk menangani pekerjaan apapun, apalagi membangun proyek pembuatan bom atom.

Satu hal yang membuat Robert Oppenheimer lebih unggul daripada Christopher Langan dan akhirnya mampu memenangkan hati Leslie Groves untuk dapat memimpin sebuah proyek yang besar dan berpengaruh pada masanya. Hal ini tak lain adalah sikap percaya diri dalam menyampaikan pesona kecerdasannya kepada orang yang akan ia ajak kerjasama.

Bandingkan dengan Christopher Langan, bahkan ketika ia masih sekolah dulu, ia sangat sungkan untuk sedikit memamerkan kecerdasannya. Jika tidak pernah ditunjukkan, mana mungkin orang disekitarnya tahu. Hal ini mungkin dikarenakan lingkungan tempat tumbuh besarnya Christopher Langan yang dilingkupi kemiskinan dan permasalahan. Hal ini membuatnya malu dan rendah diri di banyak hal. Bahkan ia sempat mengalami gegar budaya di Reed Collage dulu. Mungkin untuk sesi pembanding ini akan kita bicarakan kemudian. Mari lihat kembali apa yang dilakukan oleh Robert Oppenheimer agar berhasil mengambil hati Leslie Groves untuk ikut serta memimpin The Manhattan Project.

Menurut Martin Sherwin dan Kai Bird penulis biografi Robert Oppenheimer yang berjudul “American Promotheus: The Triumph and Tragedy of Robert Oppenheimer ” dan berhasil membawanya memenangkan penghargaan Pulitzer di tahun 2006 mengatakan bahwa Robert Oppenheimer adalah pribadi yang sangat mudah bergaul dan mudah sekali mengeluarkan pesona keceredasannya. Ia sangat tahu bahwa Leslie Groves sangat menjaga ketat akses masuk ke Manhattan Project. Tapi karena proses pendekatan Robert Oppenheimer yang mulus, ia menjadi ilmuwan pertama yang dikontak oleh Leslie Gloves dalam upayanya mencari para kandidat yang tepat dalam mengembangkan bom atom yang menjadi subjek bahasan utama dalam The Manhattan Project.

“Banyak sekali pandangan atau pendapat dari Robert Oppenheimer yang langsung disetujui oleh Leslie Gloves. Seperti bagaimana Robert Oppenheimer meminta Leslie Gloves untuk menyediakan laboratorium khusus agar mereka yang terlibat di dalam Manhattan Project dapat memahami masalah kimia, metalurgi, teknik dan artileri dengan baik. Karena pada masa itu, laboratorium khusus seperti itu belum ada dan biaya pembangunannya pun sangat mahal. Tapi toh pada akhirnya Leslie Gloves tetap percaya pada Robert Oppenheimer dan menyetujui gagasannya.” Ujar Kai Bird dan Martin Sherwin dalam suatu kesempatan.

Jika Christopher Langan memiliki sikap pendekatan yang mulus dengan penuh pesona seperti yang dilakukan oleh Robert Oppenheimer pada Leslie Gloves, mungkin ia tidak akan pernah kehilangan beasiswanya dari Reed Collage. Jika pun ia tetap kehilangan beasiswanya di Reed College, ia mungkin masih dapat meyakinkan para professornya untuk memindahkan kelasnya di sore hari sewaktu ia masih kuliah di Montana State University.

Tapi sayangnya Christipher Langan tidak memiliki keterampilan istimewa seperti yang dimiliki oleh Robert Oppenheimer. Keterampilan istimewa yang dimaksud disini adalah keterampialan yang membuat kita bisa terhindar dari tuduhan percobaan pembunuhan terhadap dosen pembimbing kita hingga meyakinkan seorang jendral bahwa kita mampu menangani sebuah proyek besar yang menentukan masa depan Negara ketika perang melanda.

Keterampilan ini disebut oleh seorang psikolog bernama Robert Sternberg sebagai “practical intelligence” atau kecerdasan praktis. Practical Intelligence meliputi pengetahuan dalam bertindak dengan tepat ketika dihadapkan dengan situasi krisis, mempengaruhi orang lain dengan halus agar mau mengikuti kehendak kita hingga bagaimana memanfaatkan situasi tertentu agar mendapatkan sebuah hasil yang maksimal. Singkatnya, Practical Intelligence adalah keahlian dalam bagaimana melakukan sesuatu tanpa harus tahu kenapa kita harus mengetahuinya maupun menjelaskannya. Kecerdasan ini bukanlah kecerdasan formal yang bisa didapat dari bangku sekolah. Kecerdasan ini dapat dilatih dengan terbiasanya membaca situasi dengan jelas dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Satu hal yang penting, jenis kecerdasan ini terpisah dari kemampuan kecerdasan analisis yang biasa diukur dengan menggunakan berbagai macam tes IQ. Kita bisa memiliki kecerdasan analisis yang tinggi dan kecerdasan praktis yang rendah atau kecersan analisis yang rendah dan kecerdasan praktis yang tinggi, atau – seperti dalam kasus Robert Oppenheimer ini – meiliki kedua jenis kecerdasan itu sekaligus.

Lalu, Bagaimana Anda Saat Ini Memandang Seorang Jenius?

Kita tahu bahwa kecerdasan analisis adalah sesuatu yang sudah tertanam pada gen kita sejak kita lahir. Sebagai contoh, lihatlah Christopher Langan yang sudah bisa berbicara bahkan pada usia 6 bulan. Ia bahkan sudah mulai belajar membaca pada usia 3 tahun. Singkatnya, ia telah dilahirkan sebagai orang yang cerdas. IQ adalah sebuah sarana untuk mengukur keahlian bawaan yang didapat ketika lahir. Tetapi keahlian praktis adalah sebuah pengetahuan. Keahlian praktis adalah keahlian yang harus dipelajari. Keahlian itu akan muncul dari suatu tempat, dan sepertinya tempat dimana kita mendapatkan sikap dan keahlian ini adalah dari orang-orang terdekat di sekitar kita, seperti halnya keluarga kita. Yah betul! Dari apa yang telah menjadi budaya dan kebiasaan dalam lingkungan di sekitar kita, tempat dimana kita dibesarkan.

Berbicara tentang kehidupan keluarga, sepertinya inilah yang menjadi kelebihan Robert Oppenheimer dibandingkan dengan Christopher Langan. Robert Oppenheimer dibesarkan di salah satu lingkungan masyarakat paling kaya di Manhattan, anak dari seorang seniman dan pengusaha manufaktur tekstil paling terkenal pada jamannya. Masa kanak-kanaknya adalah contoh dari sebuah concerted cultivation – sebuah metode pendidikan yang biasa di terapkan oleh kalangan menengah ke atas yang ditujukan untuk menunjang bakat dari anak-anaknya.

Pada akhir pekan, keluarga Oppenheimer biasa menyusuri wilayah pedesaan dengan mengendarai sebuah mobil mewah yang dikemudikan oleh seorang supir. Pada saat liburan musim panas, ia telah terbiasa pergi berlibur ke luar negeri. Ia menghabiskan masa sekolahnya di Ethical Culture Fildston School di Manhattan, New York – salah satu sekolah paling progresif dan elit pada masa itu. Menurut Martin Sherwin dan Kai Bird, penulis biografi Robert Oppenheimer para guru di Ethical Culture Fildston School selalu menekankan bahwa mereka sedang mempersiapkan anak didiknya untuk mengubah dunia. Saat guru matematikanya menyadari bahwa anak ini merasa bosan dengan proses pembelajarannya di kelas, ia akan menyuruhnya untuk belajar secara terpisah. Bukan dengan memarahinya dan mencapnya sebagai anak nakal – seperti yang dialami Christopher Langan di sekolahnya dulu di Bozeman, Montana.

Sewaktu masih berusia anak-anak, Robert Oppenheimer sangat senang sekali mengumpulkan berbagai macam jenis bebatuan. Pada usia dua belas tahun, ia mulai berani berkorespondensi dengan para geolog setempat mengenai formasi batu-batuan yang dilihatnya di Central Park. Selama berkorespondensi ini, para geolog setempat sedemikian terkesannya dengan bakat yang dimiliki oleh Robert Oppenheimer sehingga ia pun diundang untuk untuk memberikan ceramah di New York Mineralogical Club. Seperti yang pernah dikatakan Martin Sherwin dan Kai Bird, orang tua Robert Oppenheimer menanggapi hobi anaknya ini dalam sikap yang khas sebuah concerted cultivation.

Awalnya Robert merasa takut menghadiri undangan karena harus berbicara di depan para geolog dan pengumpul batu amatir yang semuanya sudah berusia dewasa. Sambil memohon kepada ayahnya bahwa mereka baru saja melakukan kesalahan dengan mengundang seorang anak kecil, Robert berniat untuk tidak menghadiri undangan itu. Tapi ayahnya – Julius – berkehendak lain. Dengan penuh semangat Julius mendorong anaknya untuk menerima kehormatan ini.

Pada malam yang ditentukan, Robert muncul di New York Mineralogical Club ditemani dengan kedua orang tuanya. Hadirin yang terdiri atas para geolog dan pengumpul batu amatir langsung terkejut dan tertawa saat Robert Oppenheimer naik ke atas podium – bahkan sebuah kotak kayu harus diletakkan sebagai pijakan agar Robert Oppenheimer tidak hanya kelihatan sebatas kepala saja. Dengan rasa malu dan canggung, Robert Oppenheimer membaca catatan yang sudah dipersiapkan dan ternyata mendapat sambutan yang sangat meriah.

Jika anda adalah anak dari seorang ayah yang sedang menapaki tangga dunia bisnis, anda bisa melihat secara langsung apa artinya bernegosiasi dengan keras. Jika anda adalah salah seorang siswa dari Ethical Culture Fildston School, anda tidak akan pernah terintimidasi oleh sejumlah akademisi Chambridge yang sedang mengintrogasi anda dalam kasus percobaan pembunuhan. Jika anda belajar fisika di Harvard, maka anda akan dapat dengan mudah berbicara dengan seorang jendral lulusan MIT.

Sebaliknya, Christopher Langan berbeda. Ia hanya memiliki dunia Bozeman yang suram dan sebuah rumah yang didominasi dengan ayah tiri yang pemabuk, pemarah dan sewenang-wenang. Itulah pelajaran yang didapat Christopher Langan dari masa kecilnya. Ia tumbuh dalam keluarga yang tidak bisa mengajarkannya bagaimana mengutarakan sebuah pendapat yang baik kepada dosen, mengurus birokrasi untuk mendapatkan beasiswa hingga bernegosiasi dengan mereka yang memiliki kewenangan lebih daripada dirinya. Ia tidak pernah mempelajari perasaan bagaimana memiliki hak. Ia dihadapkan dengan berbagai rintangan dalam kehidupannya. Mungkin terlihat seperti hal kecil, tapi kondisi seperti ini akan berpengaruh jauh kedepan, apalagi untuk kehidupan Christopher Langan di luar Bozeman.